Senin, 02 Januari 2012

fraud


FRAUD RISKS AND CONTROLS
Perngertian dari kata “fraud” segera menunjukkan pengkhianatan kepercayaan dan penemuankesalahan. Pertimbangkan pengalaman anda sendiri ketika mendengar istilah “fraud” yangdigunakan untuk mengekspresikan kemarahan moral dalam konteks umum, misalnya. "Dia penipu!" atau "Tapi, tunggu-bukankah itu penipuan?" Memang, penipuan membangkitkankemarahan banyak orang benar dan emosi karena menunjuk pada ketidakadilan, orang yangtidak jujur dengan sengaja menipu orang lain. Bahkan, profesi audit AS, dengan cara sipildan profesional, terus melihat penipuan sebagai "penyimpangan akuntansi" sampai sebelumabad ke-21. Pada saat itu, kecurangan laporan keuangan telah meningkat secara dramatis dalam insiden dan dampaknya, dan itu menjadi perlu untuk membuang eufemisme dan menyebutnya dengan pantas. Salah satu risiko penting yang dihadapi oleh organisasi kontemporer adalah risiko fraud.Ketika fraud itu muncul – apakah itu fraud internal, penipuan pihak ketiga, atau penipuankolusi, dapat menimbulkan dampak keuangan yang signifikan serta merusak reputasi serius pada organisasi. Dalam banyak kasus, terjadinya penipuan dengan cepat mengarah pada penurunan harga saham dan kapitalisasi pasar, dan merupakan indicator awal kesulitan keuangan, yang akhirnya menyebabkan kebangkrutan atau kehancuran perusahaan. fraud dan kesulitan keuangan tampaknya berhubungan satu sama lain seperti “ayam-dan-telur” dengan semacam cara: Penipuan dapat menyebabkan kesulitan keuangan, tapi kesulitan keuangan sering memicu terjadinya fraud. Mengingat konsekuensi ekonomi yang seriusmengenai fraud, manajemen senior dari banyak organisasi berada di bawah tekanan untuk mengatasi meningkatnya ekspektasi kunci yang terkait dengan bisnis, kepatuhan terhadap peraturan dan penggerak dalam mengembangkan program anti fraud dan pengendalian aktivitas. Fokus global diperbaharui pada tata kelola perusahaan yang berasal dari kesadaran bahwa laporan keuangan dengan mudah dapat dipalsukan bagi organisasi mana pun.

GCG


GOOD CORPORATE GOVERNANCE
DAN HUBUNGANNYA DENGAN AUDITING

 Gaung Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik mulai terdengar di Indonesia ketika Negara kita berhubungan dengan International Monetary Fund (IMF). Hal itu ditandai dengan ditanda tanganinya letter of intence (LOI), dimana salah satu isinya adalah Indonesia harus menjalankan prinsip Good Corporate Governance. Mungkin inilah satu-satunya hal positif yang diperoleh Indonesia sebagai dampak hubungannya dengan IMF tersebut. Sebagai tindak lanjut pemenuhan kesepakatan tersebut, Indonesia melalui Badan Penyehatan Pasar Modal (BAPEPAM) mewajibkan seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta untuk menjalankan prinsip-prinsip GCG tersebut. Hal tersebut sudah selayaknya kita dukung mengingat salah satu penyebab munculnya krisis di Indonesia adalah karena kuranganya kesadaran perusahaan negeri kita untuk menjalankan GCG. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kurniawan dan Indriantoro (2000) dalam Mustika (2005) bahwa ada kemungkinan yang kuat krisis di Indonesia disebabkan karena sebagian besar perusahaan di Indonesia belum menjalankan Good Corporate Governance.
Jika kita hanya berbicara mengenai Good Corporate Governance, maka tentunya terlalu abstrak untuk dipelajari. Hal ini disebabkan karena GCG sendiri merupakan suatu ilmu pengetahuan yang tidak bisa terlepas dari cabang ilmu-ilmu lainnya. Salah satu ilmu yang berhubungan erat dengan GCG adalah ilmu auditing. Secara umum auditing merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Mulyadi:2002). Namun seperti apa hubungan antara GCG dan auditing? Serta adakah kemungkinan GCG ini akan melahirkan cabang auditing lainnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dibahas pada tulisan ini.
MODEL GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Jika kita melihat sejarah  GCG, asal muasal lahirnya GCG ketika adalah terkuaknya mega skandal beberapa perusahaan raksasa Amerika. Enron Corp. dan WorldCom merupakan contoh perusahaan Amerika yang mendorong lahirnya GCG sebagai cara untuk penyehatan perusahaan. Namun sampai saat ini, para ahli masih sulit mendefinisikan GCG yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan.hal ini disebabkan karena lingkup GCG yang bersifat lintas sektoral. Disamping itu, gcg juga tidak akan terlepas dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya seperti makro ekonomi, teori organisasi, akuntansi, manajemen, dan sebagainya.  Walaupun demikian, para institusi dan regulator di dunia termasuk yang ada di Indonesia telah menyusun berbagai jenis model yang bisa disesuaikan dengan keadaan negara serta perusahaannya masing-masing.
The Organization for Economic Coorperation and Development (OECD) merupakan salah satu organisasi yang mengeluarkan prinsip-prinsip GCG. Prinsip GCG yang dikeluarkan oleh OECD ini merupakan prinsip yang paling terkenal dan paling banyak menjadi acuan. Prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Perlindungan terhadap pemegang saham.
2.      Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham
3.      Peranan stakeholders yang terkait dengan perusahaan
4.      Keterbukaan dan tranparansi
5.      Akuntabilitas dewan komisaris (board of directors)
The Principle of Good Corporate Governance and Best Practice Recommendationsmerupakan produk yang dilekeluarkan oleh The ASX Corporate Governance Council yang juga mengatur prinsip-prinsip GCG. Isi dari produk tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Membangun landasan kerja yang kuat bagi manajemen perusahaan dan board of directors.
2.      Menyusun struktur organisasi the board of directors yang dapat menjamin efektifitas kerja dan meningkatkan nilai perusahaan.
3.      Mengembangkan kebiasaan mengambil keputusan yang etis dan dapat dipertanggung jawabkan.
4.      Menjaga integritas laporan keuangan.
5.      Mengungkapkan semua informasi tentang kondisi dan perkembangan perusahaan kepada pemegang secara tepat waktu dan seimbang.
6.      Menghormati hak dan kepentingan ara pemegang saham.
7.      Menyadari adanya resiko bisnis dan mengelolanya secara profesional.
8.      Mendorong peningkatan kinerha board of directors dan manajemen perusahaan.
9.      Menjamin pemberian balas jasa pimpinan dan karyawan perusahaan yang adil dan dapat dipertanggung jawabkan.
10.  Memahami hak dan kepentingan stakeholders yang sah.
Ketiga lembaga tersebut merupakan lembaga yang berada diluar Indonesia. Lembaga-lembaga di Indonesia tentunya tidak ingin disebut sebagai lembaga yang pasif.  Komite Nasional Kebijakan Governance merupakan salah satu lembaga yang juga pernah mengeluarkan prinsip – prinsip GCG tersebut. Prinsip GCG yang diproklamirkan KNKG dikenal dengan TARIF yang terdiri atas :
T = Transparancy (transparansi)
A = Accountability (akuntabilitas)
R = Responsibility (responsibilitas)
I = Independensi
F = Fairnes (kewajaran)
 Selain institusi-institusi diatas masih banyak institusi lain yang juga mengeluarkan model – model GCG. Namun pada intinya,  model-model tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu berusaha menyembuhkan “penyakit” yang sedang menginggapi perusahaan-perusahaan di Dunia termasuk Indonesia. Karena seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa GCG muncul karena adanya “penyakit” yang menggrogoti perusahaan-perusahaan dunia.
 HUBUNGAN GCG DENGAN AUDITING : Konsep versus Realita
Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa GCG merupakan sesuatu yang abstrak dan lintas sektoral. GCG tidak akan bisa lepas dari ilmu pengetahuan lainnya, salah satunya adalah ilmu auditing. Namun seperti apa hubungan antara GCG dengan auditing? Dalam tulisan ini, penulis akan membandingkan dua paradigma hubungan antara GCG dan auditing, yaitu dari sisi konsep dan dari segi realita. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan dalam tulisan ini adalah penulis akan membatasi auditing hanya dari sisi akuntan publik.
Jika kita menelaah model-model GCG yang diuraikan sebelumnya, maka kita akan langsung berkesimpulan bahwa GCG berhubungan positif dengan audit dan sebaliknya. Pertama kita akan melihat hubungan antara audit (akuntan publik) dengan GCG. Sebagaimana kita ketahui bahwa akuntan publik merupakan reputasional  agent yang merupakan komunitas profesional. Sebagaireputasional  agent, peran akuntan dalam mendisiplinkan perusahaan dengan memberikan keyakinan atas kualitas informasi keuangan (Restiati:65). Hal ini sejalan dengan tanngung jawab utama akuntan publik dalam financial audit yaitu memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan. Menurut Mulyadi (2002) kata “wajar” mempunyai makna bebas dari keragu-raguan dan ketidak jujuran dan lengkap informasinya. Akuntan publik mendorong perusahaan untuk lebih accountabledalam pengungkapan atas informasi perusahaan dan membuat sistem agar angka yang disajikan dalam laporan keuangan menjadi akurat dan andal. Seberapa jauh peran akuntan publik sangat dipengaruhi oleh kualitas opini yang diberikan. Karena opini yang berkualitas pada gilirannya merupakan bentuk peran akuntan publik dalam penegakan good corporate governance.
Hubungan antara GCG dan auditing merupakan hubungan timbal balik. Artinya bahwa pada awalnya akuntan publik akan berusaha menegakan konsep-konsep GCG dalam perusahaan yang tentunya harus didukung oleh elemen perusahaan lainnya. Namun setelah prinsip GCG berhasil diterapkan dalam perusahaan, maka akuntan publik akan menuai benih yang telah mereka tanam. Logikanya, ketika prinsip GCG telah diterapkan oleh perusahaan maka akan membantu meringan akuntan publik dalam melaksanakan proses audit. Hal ini disebabkan karena jika kita lihat semua konsep GCG diatas tanpa memperhatikan sumbernya, maka prinsip-prinsip tersebut akan mengakomodasi ataupun meringankan akuntan publik dalam memeriksa laporan keuangan perusahaan. Jadi jelas bahwa auditor mempunyai peranan yang cukup besar dalam penegakan GCG dan GCG dapat meringankan beban auditor dalam melaksanakan proses audit suatu perusahaan.
Hal diatas akan terjadi bila akuntan publik mampu menjalankan tanggung jawab sesuai dengan yang diamanahkan kepadanya. Namun hal tersebut hanya akan menjadi sekedar konsep yang merupakan retorika belaka ketika akuntan publik tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya. Hal inilah yang selama ini terjadi dalam profesi akuntn publik.
Sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, ketika tuntutan terwujudnya GCG merebak dikalangan perusahaan, profesi akuntan publik banyak mendapat sorotan. Sorotan tersebut terutama terkait dengan peranan profesi akuntan selama ini dalam penegakan GCG. Meski sepenuhnya pendapat tersebut belum tentu benar, namun dengan melihat data dan fenomena yang ada hal ini perlu untuk dipertimbangkan. Munculnya pandangan seperti itu mungkin memang beralasan. Kenyatan menunjukan, bahwa banyak laporan keuangan suatu perusahaan mendapat opiniunqualified opinion justru setelah opini tersebut keluar, perusahaan yang bersangkutan mengalami kebangkrutan. Misalnya ketika tahun 1997, dimana ketika itu laporan keuangan bank publik yang kini di likuidasi dan berstatus sebagai bank beku operasi (BBO) ternyata mendapat opiniunqualified opinion dari akuntan publik (Sunarsip:3)
Kita harus mengakui bahwa masih banyak perusahaan di negeri ini yang belum sadar akan pentingnya GCG. Masih banyak perusahaan di Indonesia yang sangat buruk pengelolaanya. Salah satu bukti yang menunjukan buruknya pengelolaan perusahaan di negeri ini antara lain tercermin dari tidak adanya upaya antisipasi manajemen terhadap aktivitas keuangan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sunarsip (2001) terbukti hingga akhir tahun, total hutang luar negeri swasta dari 275 emiten yang listing di BEJ sebesar US$ 42,732 milyar, ternyata sekitar 79,29 % (atau sekitar US$ 33,9 milyar) tidak di hedging. Yang lebih menggenaskan lagi, dari sekian banyak perusahaan swasta yang memiliki utang laur negeri, ternyata sebagian besar merupakan utang jangka pendek yang digunakan untuk membiayai proyek jangka panjang. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak perusahaan swasta mengalami default atas utang mereka yang telah jatuh tempo.
Oleh karena itu, sudah selayaknyalah kita semua menumbuhkan prinsip-prinsip GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. Terutama elemen-elemen yang berhubungan erat dengan dunia usaha itu sendiri, tidak terkecuali akuntan publik. Walaupun kita tau bahwa tegaknya GCG ataupun berhasilnya GCG diterapkan banyak dipengaruhi oleh elemen internal dan eksternal perusahaan itu sendiri. Ariyoto, dkk (2000) mengatakan bahwa terdapat unsur-unsur corporate governance yang berasal dari dalam perusahaan serta unsur dari luar perusahaan yang bisa menjamin berfungsinya GCG. Salah satu unsur yang berasal dari luar perusahaan adalah akuntan publik. Oleh karena itu, akuntan publik yang katanya sebagai “sang penjaga kepentingan publik” juga dituntut perannya dalam penerapan GCG di perusahaan. Karena seperti yang telah diterangkan diatas, GCG dan auditing mempunyai hubungan timbal balik antara satu dengan lainnya. Jika pada awalnya akuntan publik dituntut perannya dalam penerapan GCG, namun setelah GCG ini telah berhasil diterapkan dengan efektif, maka akan membantu akuntan publik sendiri dalam melakukan proses auditing.

Minggu, 01 Januari 2012

The Big 4


The Big 4


Sejarah The Big 4
Pada tahun 1979, ada 8 kantor akuntan publik besar yang dikenal dengan big 8 yang mendominasi di dunia internasional, delapan kantor akuntan tersebut adalah :
1.    Arthur Andersen
2.   Arthur Young & Company
3.   Coopers & Lybrand
4.   Ernst & Whinney
5.   Deloitte, Haskins and Sells (Gabungan Haskins & Sells dengan satu perusahaan di eropa)
6.   KPMG (terbentuk karena bergabungnya Peat Marwick International dan KMG Group)
7.   Price Waterhouse
8.    Touche Ross
Pada Juni 1989 Ernst & Whinney memutuskan untuk bergabung dengan Arthur Young dan kemudian membentuk Ernst & Young . Kemudian pada bulan Agustus ditahun yang sama Deloitte, Haskins & Sells pun melakukan merger dengan Touche Ross yang kemudian menghasilkan kantor akuntan Deloitte & Touche. Maka dengan ini, kelompok big 8 berubah menjadi big 6 .
Pada Juli 1998 Kantor Akuntan Price Waterhouse memutuskan untuk bergabung dengan Kantor Coopers & Lybrand yang kemudian membentuk Kantor akuntan PricewaterhouseCoopers. Dengan terbentuknya kantor akuntan PricewaterhouseCoopers ini, maka kelompok the big 6 berubah menjadi big 5 dengan anggota 5 Kantor Akuntan sebagai berikut :
1.  Arthur Andersen
2. PricewaterhouseCoopers
3. Deloitte Touche Tohmatsu
4. Ernst & Young
5. KPMG
Pada tahun 2001 terjadi suatu peristiwa yang kita kenal sebagai Skandal Enron. Dalam Skandal Enron ini, kantor akuntan Arthur Andersen didakwa melawan hukum karena menghancurkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengauditan Enron, dan dianggap menutup-nutupi kerugian jutaan dolar dalam skandal Enron. Kejadian ini menyebabkan kebangkrutan bisnis Arthur Andersen yang bersifat global. Kantor-kantor partner di seluruh dunia yang berada di bawah bendera Arthur Andersen seluruhnya dijual dan kebanyakan bergabung menjadi kantor akuntan internasional lainnya Dengan adanya kejadian ini, maka hanya tersisa empat kantor akuntan internasional yang kita kenal dengan nama big 4 sampai saat ini.

The Big 4 Auditors adalah kelompok empat firma Jasa profesional dan akuntansi internasional terbesar, yang menangani mayoritas pekerjaan audit untuk perusahaan publik maupun perusahaan swasta. Empat besar auditor tersebut adalah :
1.  PricewaterhouseCooper
2. Deloitte Touche Tohmatsu
3. Ernst & Young
4. KPMG
Pada awalnya kelompok big 4 ini dikenal dengan nama Big 8, akan tetapi dengan melalui serangkaian merger dan juga skandal besar dunia, maka jadilah kelompok ini kita kenal sebagai The Big 4 Auditors. Berikut ini akan saya ceritakan secara singkat tentang perubahan The Big 8 hingga menjadi The Big Four.
Berikut ini kantor akuntan Big 4 dengan afiliasinya di Indonesia :
1.  KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja – affiliate of Ernst & Young
2.  KAP Osman Bing Satrio – affiliate of Deloitte
3.  KAP Sidharta, Sidharta, Widjaja – affiliate of KPMG
4.  KAP Haryanto Sahari – affiliate of PwC



Basel I dan Basel II



SEKILAS IMPLEMENTASI BASEL II DI INDONESIA
Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestik maupun pasar internasional.
Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.
Mengingat pentingnya modal pada bank, pada tahun 1988 BIS mengeluarkan suatu konsep kerangka permodalan yang lebih dikenal dengan the 1988 accord (Basel I). Sistem ini dibuat sebagai penerapan kerangka pengukuran bagi risiko kredit, dengan mensyaratkan standar modal minimum adalah 8%. Komite Basel merancang Basel I sebagai standar yang sederhana, mensyaratkan bank-bank untuk memisahkan eksposurnya kedalam kelas yang lebih luas, yang menggambarkan kesamaan tipe debitur. Eksposur kepada nasabah dengan tipe yang sama (seperti eksposur kepada semua nasabah korporasi) akan memiliki persyaratan modal yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan yang potensial pada kemampuan pembayaran kredit dan risiko yang dimiliki oleh masing-masing individu nasabah.Sejalan dengan semakin berkembangnya produk-produk yang ada di dunia perbankan, BIS kembali menyempurnakan kerangka permodalan yang ada pada the 1988 accord dengan mengeluarkan konsep permodalan baru yang lebih di kenal dengan Basel II.

Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel. Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara.
BASEL I DAN II
Basel I adalah suatu istilah yang merujuk pada serangkaian kebijakan bank sentral dari seluruh dunia yang diterbitkan oleh Komite Basel pada tahun 1988 di Basel, Swiss sebagai suatu himpunan persyaratan minimum modal untuk bank. Rekomendasi ini dikukuhkan dalam bentuk aturan oleh negara-negara Group of Ten (G10) pada tahun 1992. Basel I secara umum telah ditinggalkan dan digantikan oleh himpunan pedoman yang lebih komprehensif, yang disebut Basel II, yang sedang diterapkan oleh beberapa negara. Basel II adalah yang kedua dari Basel Accord , (sekarang diperpanjang dan efektif digantikan oleh Basel III ), yang rekomendasi mengenai hukum perbankan dan peraturan yang dikeluarkan oleh Komite Basel tentang Pengawasan Perbankan.
Basel II, awalnya diterbitkan pada bulan Juni 2004, dimaksudkan untuk menciptakan sebuah standar internasional untuk regulator perbankan untuk mengontrol berapa banyak kebutuhan modal bank-bank untuk menyisihkan untuk menjaga terhadap jenis bank risiko keuangan dan operasional (dan ekonomi keseluruhan) wajah. Salah satu fokus adalah untuk menjaga konsistensi peraturan yang cukup sehingga hal ini tidak menjadi sumber ketidaksetaraan antara bank-bank internasional yang kompetitif aktif. Advokat Basel II percaya bahwa standar internasional seperti dapat membantu melindungi sistem keuangan internasional dari jenis masalah yang mungkin timbul harus sebuah bank besar atau serangkaian keruntuhan bank. Dalam teori, Basel II berupaya mencapai hal ini dengan mendirikan risiko dan persyaratan pengelolaan modal yang dirancang untuk memastikan bahwa bank memiliki modal yang memadai untuk resiko bank menghadapkan dirinya untuk melalui pinjaman dan praktik investasi. Secara umum, aturan-aturan ini berarti bahwa risiko lebih besar untuk bank mana yang terkena, semakin besar jumlah modal bank perlu terus untuk menjaga nya solvabilitas dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Secara politis, hal itu sulit untuk menerapkan Basel II di lingkungan peraturan sebelum 2008, dan kemajuan pada umumnya lambat sampai krisis perbankan besar tahun itu disebabkan sebagian besar oleh credit default swap , hipotek keamanan berbasis pasar dan serupa derivatif . Sebagai Basel III dirundingkan, ini adalah puncak pikiran, dan karenanya jauh lebih ketat standar yang dimaksud, dan dengan cepat diadopsi di beberapa negara kunci termasuk Amerika Serikat.
Basel II dibuat berdasarkan struktur dasar the 1988 accord  yang memberikan kerangka perhitungan modal yang bersifat lebih sensitif terhadap risiko (risk sensitive) serta memberikan insentif terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan cara penyesuaian persyaratan modal dengan risiko dari kerugian kredit dan juga dengan memperkenalkan perubahan perhitungan modal dari eksposur yang disebabkan oleh risiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.
Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko.

Sarbanes


Pengertian Sarbanes
Sarbanes – Oxley Act, biasa disebut SOX, SOA atau SarbOx, bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan investor pasca skandal akuntansi dan kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar di Amerika. Undang-undang tersebut diprakarsai oleh Senator Paul Sarbanes (Maryland) dan Representative Michael Oxley (Ohio). Undang-undang ini diterbitkan sebagai jawaban dari Kongres Amerika Serikat terhadap berbagai skandal pada beberapa korporasi besar seperti: Enron dan kemudian diikuti oleh WorIdCom, Qwest, Tyco, HeaIthSouth dan lain-lain, yang juga melibatkan beberapa Kantor Akuntan Publik (KAP) yang termasuk dalam kelompok lima besar "the big five" seperti: Arthur Andersen, PWC, dan KPMG.

Dengan diberlakukannya undang-undang Sarbanes Oxley 2002 yang ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush pada 30 Juli 2002 diharapkan dapat membawa dampak positif bagi berbagai profesi, antara lain : akuntan publik bersertifikat (CPA); kantor akuntan publik (KAP); perusahaan yang memperdagangkan sahamnya (listed di bursa US (termasuk direksi, komisaris, karyawan, dan pemegang saham); perantara (broker); penyalur (dealer); pengacara yang berpraktik untuk perusahaan publik; investor perbankan serta para analis keuangan. Dengan adanya undang-undang SOX (Sarbanes Oxley Act) ini, Pemerintah dapat mengatur perusahaan melalui berbagai cara, baik melalui pembentukan undang-undang maupun berbagai peraturan pelaksanaan lainnya.

Pemerintah melakukan regulasi dengan tujuan agar terjadi persaingan yang sehat diantara pelaku usaha. Selain itu juga untuk menyeleraskan ketidakseimbangan kekuatan diantara pelaku usaha, konsumen secara individu, dan masyarakat pada umumnya.
Masyarakat baik dalam arti individu maupun kelompok sangat membutuhkan adanya suatu lembaga yang mengatur dan melindungi kepentingan mereka terutama terhadap barang/jasa publik.

Tujuan dari adanya pengaturan tersebut adalah berkaitan dengan 5 (lima) hal sebagai berikut :
1. Mengatur persaingan (regulate competition)
2. Melindungi konsumen (protect consumers)
3. Mendorong keadilan dan keselamatan (promote equity and safety)

Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik)


Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik)

Dalam bidang akuntansi sendiri, salah satu profesi yang ada yaitu Akuntan Publik. Sebenarnya selama ini belum ada aturan baku yang membahas mengenai kode etik untuk profesi Akuntan Publik. Namun demikian, baru-baru ini salah satu badan yang memiliki fungsi untuk menyusun dan mengembangkan standar profesi dan kode etik profesi akuntan publik yang berkualitas dengan mengacu pada standar internasional yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) telah mengembangkan dan menetapkan suatu standar profesi dan kode etik profesi yang berkualitas yang berlaku bagi profesi akuntan publik di Indonesia.

Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik) ini terdiri dari dua bagian, yaitu Bagian A dan Bagian B. Bagian A dari Kode Etik ini menetapkan prinsip dasar etika profesi dan memberikan kerangka konseptual untuk penerapan prinsip tersebut. Bagian B dari Kode Etik ini memberikan ilustrasi mengenai penerapan kerangka konseptual tersebut pada situasi tertentu.
Kode Etik ini menetapkan prinsip dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam kantor akuntan publik (KAP) atau Jaringan KAP, baik yang merupakan anggota IAPI maupun yang bukan merupakan anggota IAPI, yang memberikan jasa profesional yang meliputi jasa assurance dan jasa selain assurance seperti yang tercantum dalam standar profesi dan kode etik profesi. Untuk tujuan Kode Etik ini, individu tersebut di atas selanjutnya disebut ”Praktisi”. Anggota IAPI yang tidak berada dalam KAP atau Jaringan KAP dan tidak memberikan jasa profesional seperti tersebut di atas tetap harus mematuhi dan menerapkan Bagian A dari Kode Etik ini. Suatu KAP atau Jaringan KAP tidak boleh menetapkan kode etik profesi dengan ketentuan yang lebih ringan daripada ketentuan yang diatur dalam Kode Etik ini.
Setiap Praktisi wajib mematuhi dan menerapkan seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam Kode Etik ini, kecuali bila prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur oleh perundang-undangan, ketentuan hukum, atau peraturan lainnya yang berlaku ternyata berbeda dari Kode Etik ini. Dalam kondisi tersebut, seluruh prinsip dasar dan aturan etika profesi yang diatur dalam perundang-undangan, ketentuan hukum, atau peraturan lainnya yang berlaku tersebut wajib dipatuhi, selain tetap mematuhi prinsip dasar dan aturan etika profesi lainnya yang diatur dalam Kode Etik ini.